Lompat ke isi utama

Berita

RAPAT KOORDINASI EVALUASI PENCALONAN DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA PEMILU 2019

RAPAT KOORDINASI EVALUASI PENCALONAN DPRD PROVINSI DAN DPRD KABUPATEN/KOTA PEMILU 2019

Rahajeng #sahabatbawaslu sameton Badung. Bertempat di Sekretariat KPU Kabupaten Badung, Kamis (29/8/2019) baru saja usai diselenggarakan Rapat Koordinasi Evaluasi Pencalonan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu 2019. Rakor yang dimulai pada pukul 18.00 WITA ini menghadirkan berbagai stakeholders penyelenggaraan Pemilu 2019 di Kabupaten Badung, antara lain: Polres Badung, Polresta Denpasar, Kodim 16/11 Badung, BNNK Badung, Kejaksaan Negeri Badung, Disdikpora Badung, BPMPD (Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa) Badung, dan Partai Politik peserta Pemilu via Liaison Officer (Golkar, Gerindra, PSI, Nasdem), serta tidak ketinggalan pihak penyelenggara yaitu Bawaslu Kabupaten Badung dan KPU Provinsi Bali.

Rakor yang dipimpin oleh ketua dan anggota KPU Badung ini bertujuan untuk mendapatkan masukan dari para stakeholders terhadap permasalahan yang dihadapi pada saat tahapan pencalonan anggota DPRD Kabupaten Badung dalam Pemilu 2019 yang berproses di KPU Kab. Badung. Masukan-masukan tersebut akan digunakan sebagai dasar evaluasi untuk perbaikan penyelenggaraan Pemilu atau Pemilihan selanjutnya. Selain inventarisasi daftar masalah, stakeholders juga diminta memberikan rekomendasi atau saran/solusi yang diharapkan.Sejumlah poin penting yang dihasilkan dan menjadi sorotan (khususnya oleh Bawaslu) dalam tahapan pencalonan anggota DPRD sebagai berikut:

  1. Batas akhir waktu pendaftaran calon dan perbaikan administrasi kelengkapan calon terlalu longgar sampai dengan pukul 00.00, sehingga tidak efektif karena nyatanya tetap saja partai politik banyak yang baru melengkapi persyaratan bakal calon sampai hampir batas akhir waktu berakhir. Sebaiknya tegas saja menggunakan standar jam kerja yang berlaku umum. Di sini komitmen peserta Pemilu sangat diharapkan agar tidak SKS (sistem kebut semalam) untuk menghindari penumpukan antrean (bottle neck) di hari terakhir sehingga memperlancar proses dan efisien waktu.
  2. Perbedaan persepsi atau penafsiran terhadap ketentuan bersih narkoba dan SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian). Sebaiknya rinci diatur instansi mana yang berwenang menerbitkan, apakah cukup Rumah Sakit atau hanya BNN (Badan Narkotika Nasional) untuk Suket Bersih Narkoba; apakah Polsek/Polres/Polda untuk SKCK. Berkaitan juga dengan masa berlaku surat-surat tersebut yang berbeda-beda.
  3. Agar dibentuk suatu wadah sinergitas bersama dalam suatu kelompok kerja (Pokja) pada saat penerimaan berkas persyaratan pencalonan sehingga ada pihak-pihak yang kompeten/ahli dalam menelaah keabsahan berkas-berkas tersebut. Misalnya: Disdikpora/Dikti untuk berkas ijazah, Kepolisian untuk SKCK, BNN untuk Suket Bersih Narkoba, BPMPD/BPD/BKD untuk status ASN/perangkat desa, dan seterusnya. Sementara ini KPU dan Bawaslu hanya bersifat pasif dalam menelaah berkas sebatas petunjuk teknis (juknis) dalam regulasi yang berlaku. Jika tidak ada Pokja, sebaiknya regulasi yang mengatur agar lebih rinci lagi.
  4. Status pekerjaan bakal calon seringkali berbeda antara yang tertera di KTP dengan kenyataan sebenarnya, terutama untuk status jabatan yang melekat. Hal ini agar dirumuskan ketentuan regulasi yang lebih rigid mengatur guna menghindari pemalsuan status pekerjaan yang berkaitan dengan persyaratan pencalonan, khususnya jenis pekerjaan tertentu yang wajib mengundurkan diri pada saat pencalonan.
  5. Aplikasi SILON (Sistem Pencalonan) besutan KPU agar lebih dipersiapkan dengan baik, user friendly, dan stabil. Permasalahan seperti server down, power failure, dan menu yang cukup sulit dipahami operator yang awam IT agar tidak terulang lagi. Secara teknis perlu ditunjang dengan backup system, memperlebar kapasitas jalur komunikasi (internet bandwidth), dan meningkatkan keamanan data melalui transmisi SSL (Secure Socket Layer) untuk mengantisipasi traffic, load yang tinggi, dan hacking. Selain itu perlu juga fitur deteksi otomatis terhadap status pekerjaan bakal calon serta penulisan ejaan gelar yang sesuai dengan ketentuan dunia pendidikan. Secara akumulatif perbaikan dan pengembangan SILON tersebut akan bermuara pada efisiensi waktu dan efektivitas kerja. Penting untuk menjawab tantangan kedepan dimana berbagai proses di segala sektor akan menggunakan metode berbasis teknologi digital berupa aplikasi.
  6. Budaya masyarakat "koh ngomong” masih terbilang tinggi di Kabupaten Badung. Menjadi PR besar bagi Bawaslu khususnya, untuk dapat menggerakkan gerakan moral dan sosial pengawasan partisipatif masyarakat untuk berani lapor dengan menyertakan bukti dan saksi sesuai ketentuan. Diperlukan sosialisasi yang masif dengan ditunjang penganggaran yang memadai. Anggaran sosialisasi ini yang seringkali terkena dampak rasionalisasi, baik di Bawaslu maupun KPU. Pengawasan partisipatif ini penting dalam pencalonan karena ada periode bagi masyarakat untuk menyampaikan tanggapan/keberatan terhadap bakal calon, khususnya DCS (Daftar Calon Sementara) sebelum ditetapkan menjadi DCT (Daftar Calon Tetap).
  7. Affirmative action (kebijakan khusus guna mengakomodir keterwakilan perempuan dalam politik) agar tidak hanya mengejar pemenuhan jumlah (kuantitas) kuota pencalonan semata tetapi juga didukung dengan kapasitas (kualitas) yang memadai sehingga calon terpilih perempuan jumlahnya menjadi linear dengan jumlah bakal calon yang diajukan saat pendaftaran. PR bagi Parpol peserta Pemilu dalam kaderisasi internal.
  8. Pengaturan sanksi yang lebih tegas dengan merevisi Undang-Undang yang menjadi ranah wakil rakyat di tingkat pusat.