FGD PROBLEMATIKA DAN ALTERNATIF SOLUSI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MENYONGSONG PILKADA SERENTAK
|
Rahajeng #sahabatbawaslu sameton Badung. Senin, 16 September 2019 pukul 10.00 — 13.00 WITA, komisioner anggota Bawaslu Badung mengikuti FGD (Focus Group Discussion) yang bertajuk "Problematika dan Alternatif Solusi Peraturan Perundang-Undangan Menyongsong Pilkada Serentak Tahun 2020" yang digelar oleh Bawaslu Provinsi Bali di Denpasar. FGD menghadirkan dua orang narasumber luar yaitu bapak Dr. Jimmy Zeravianus Usfunan, S.H., M.H., dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Ibu Dr. Ir. Luh Riniti Rahayu, M.Si., dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Ngurah Rai yang juga ketua LSM perempuan Bali Sruti.
FGD dibuka oleh Ketua Bawaslu BALI, Ketut Ariyani, S.E., M.M. dengan didampingi oleh komisioner anggota, Kepala Sekretariat, dan Kasubbag sebagai moderator. Riniti sebagai pemateri pertama menyampaikan perihal mewujudkan Pemilu/Pemilihan yang bermartabat yang dihasilkan dari penyelenggara yang berintegritas, peserta yang taat asas, dan pemilih yang berkualitas. Mantan anggota TPD (Tim Pemeriksa Daerah) yang merupakan perpanjangan tangan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) di daerah dalam penanganan awal dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara ini menekankan pada kewajiban dan tantangan Bawaslu dalam memastikan integritas penyelenggara, komitmen penindakan pelanggaran oleh peserta, serta pelibatan masyarakat adat dalam pengawasan partisipatif.
Sementara hal yang lebih substansial dalam menyongsong hajatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 dimana menjadi problematika mendasar bagi Bawaslu pada konteks regulasi peraturan perundang-undangan adalah ketidakselarasan antara UU Pilkada (UU Nomor 10 Tahun 2016) dengan UU Pemilu (UU Nomor 7 Tahun 2017), diuraikan secara komprehensif oleh Jimmy. Pria yang pada tahun 2015 mencatatkan dirinya sebagai doktor termuda pada usia 30 tahun yang dicetak oleh Universitas Udayana ini menjabarkan perbedaan kedua UU tersebut dalam ketentuan nomenklatur badan hukum dan jumlah keanggotaan komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota, jangka waktu penanganan dugaan pelanggaran, ruang lingkup pelanggaran administrasi TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), dan sifat produk yuridis penindakan pelanggaran. Sejumlah solusi hukum konkret yang dapat ditempuh oleh Bawaslu di tingkat pusat, yaitu: mengajukan uji materi peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Agung dan judicial review terbatas UU Pilkada (yang saat ini sedang berproses) atau meminta putusan sela ke Mahkamah Konstitusi, ditawarkan oleh dosen yang disertasinya berjudul "Konsep Kepastian Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan" ini untuk menjaga kredibilitas Bawaslu di mata masyarakat.
Diskusi kemudian berlangsung antusias dengan berbagai pertanyaan, sanggahan, dan berbagi pendapat antar peserta, baik dari Bawaslu Provinsi Bali maupun Bawaslu Kabupaten/Kota se-Bali. Menarik saat tiba pada wacana pelibatan perangkat dan/atau masyarakat desa adat dalam politik praktis. Celah kekosongan norma ini seringkali dimanfaatkan oleh politikus atau partai politik dalam Pemilu/Pilkada karena belum ada UU atau turunannya yang mengatur. Demikian pula halnya bahaya kontestasi politik yang dibalut hoax dan perihal politik identitas dalam diksi SARA yang perlu diantisipasi bersama, khususnya di Bali yang sangat kental budaya dan adat-istiadatnya.